Pengertian Depresi pada Anak

PicsArt_1460103297439

Kesehatan Mental
Istilah kesehatan mental adalah pemberian nama yang salah karena biasanya mengacu pada kesehatan emosi. Meskipun kebanyakan anak-anak dinilai baik-baik saja, setidaknya 1-10 anak dan remaja didiagnosis memiliki gangguan mental cukup parah yang menyebabkan beberapa kerusakan (Leslie, Newmanm Chensey, & Perrin, 2005). Diagnosis gangguan mental pada anak adalah penting karena gangguan ini dapat mengarahkan pada gangguan psikiatris pada masa dewasa nanti (Kin-Cohen dkk. 2003). Kenyataanya, separuh dari gangguan mental dimulai sekitar usia 14 tahun (Kessler dkk, 2005).

 
Masalah-masalah Emosional yang Umumnya Terjadi
Anak-anak dengan permasalahan emosi, perilaku dan perkembangan cenderung kurang dilayani di kelompoknya. Dibandingkan dengan anak lain yang memiliki kebutuhan perawatan kesehatan khusus, mereka lebih mungkin memiliki kondisi yang berdampak pada aktifitas harian mereka dan menyebabkan mereka ketinggalan sekolah. Mereka seringkali memiliki kondisi fisik yang kronis dan memerlukan pelayanan kesehatan mental menerima apa yang mereka perlukan (Meringkangas dkk, 2009).

 
Gangguan Tingkah Laku yang Menggangu
Temper tantrum (pemarah) dan penyimpangan, agrumentatif, bermusuhan, atau perilaku yang mengganggu lainya—umumnya terjadi diusia 4-5 tahun—umumnya terjadi melampaui pertengahan masa kanak-kanak saar anak semakin baik dalam mengontol perilaku tersebut (Miner&Clarke-Stewart,2009). Ketika pola-pola perilaku tersebut bertahan hingga usia 8 tahun, anak-anak (biasanya anak-anak laki-laki) didiagnosis dengan oppositional defiant disorder (ODD), bentuk-bentuk dari pertentangan, ketidakpatuhan, dan perusuhan terhadap otoritas irang dewasa, setidaknya selama 6 bulan dan menjadi di luar batas kenormalan perilaku anak. Anak-anak dengan ODD terus meneris bertengkar, adu argument, kehilangan kendali marah, merebut sesuatu, menyalahkan yang lain, dan penuh amarahh serta penuh kebencian. Mereka hanya memiliki beberapa teman, selalu bermasalah di sekolah dan selalu menguji kesabaran orang dewasa (American Psyciatric Assisiation, 2000; National Library of Medicine, 2004).
Beberapa anak menderita ODD hingga memiliki Conduct Disorder (CD), gangguan perilaku, bentuk yang menetap, berulang, dimulai di usia awal mereka, agresif, sikap antisocial seperti membolos, membakar dan kebiasaan berbohong, bertengkar, menindas, mencuri, suka merusak, menyerang dan penggunaan obar-obatan serta alcohol (American Psyciatric Assiciation, 2000; National Library of Medicine, 2003). Antara 6-16 persen anak laki-laki dan antara 2-9 persen anak perempuan di bawah 18 tahun di Amerika Serikat di diagnosis dengan tingkat klinis dari perilaku eksternalisasi atau gangguan perliaku (Roosa dkk., 2005). Beberapa anak usia 11-13 tahun mengalami peningkatan dari gangguan perilaku ke kekerasan criminal-penjamretan, pemerkosaan, dan melanggar aturan-aturan—dan usia 17 tahun lebih sering melakukan pelanggaran serius (Coie &Dodge, 1998). Atara 25-50 persen anak antisosiaal, anak ketika besar nanti mereka juga akan menjadi antisocial (USDHHS, 1999).
Apa yang menentukan apakah nantinya anak yang sejak kecil memiliki tendensi antisocial makan akan menjadi antisocial yang parah dan kronis? kekurangan neurobiologist, seperti lemahnya mekanisme pengaturan stress, bisa jadi gagal meningkatkan anak untuk dipengaruhi secara genetis atau di bawa oleh lingkungan yang kurang baik seperti pengasuhan yang bermusuhan atau konflik keluarga, atau keduanya (van Goozen, Fairchild, Snoek & Harold, 2007). Seperti contoh dalam sebuah studi lebih dari 1300 ibu dan anak-anak, peneliti menemukan interaksi antara pengasuhan yang keras dan temperamental anak yang sulit. Anak yang masih bayi, rata-rata sulit dan memiliki resiko tinggi dalam pengembangan perilaku eksternal (Seperti yang ditemukan dalam gangguan perilaku), tetapi hanya jika ibu mereka juga menggunakan teknik pengasuhan yang keraas (Miner & Clarke-Stewart, 2009). Juga dipegaruhi oleh peristiwa hidup yang menekan dan dihubungkan dengan penyimpangan kelompok sebaya (Roosa dkk., 2005).

 
Gangguan Kecemasan
Beberapa anak memiliki gangguan kecemasan yang umum, tidak terpaku pada bagian spesifik kehidupan mereka. Anak tersebut khawatir akan segalanya; kelulusan sekolah, badai, gempa bumi, dan melukai diri mereka sendiri ketika bermain di arena bermain. Mereka cenderung menjadi sadar diri, ragu akan diri sendiri, dan sangat khawatir jika bertemu dengan orang yang mereka tidak kehendaki. Mereka mencari pembenaran dan memastikan keperluanya, tetapi kekhawatiran mereka secara langsung mempengaruhi penampilanya atau bagaimana mereka di perhatikan oleh yang lain (American Psychiatric Association,1994; Harvard Medical School, 2004a; USDHHS, 1999b).
Gangguan kecemasan cenderung terjadi dalam keluarga (Harvard Medical School, 2004a) dan terjaid dua kali lipat pada anak perempuan daripada anak laki-laki. Meningkatnya kerentanan pada perempuan akan memicu kecemasan terjadi di awal usia 6 tahun. Perempuan juga lebih mudah menerima depresi, hal ini adalah bentuk serupa dengan kecemasan dan sering kali terjadi (Lewinsohn, Gotlib, Lewinsohn, Seeley, & Allen, 1998). Kedua kecemasan dan depresi tersebut mungkin berdasarkan neurobiologist atau mungkin berakar dari kelekatan yang tidak terjamin, ekspos dari kecemasan, dan depresi orang tua, atau pengalaman yang membuat anak merasa kehilangan control terhadap apa yang terjadi disekitar mereka (Chorpita & Barlow, 1998; Harvard Medical School, 2004a). Orang tua yang memberikan hadiah terhadap kecemasan anak dengan memberi perhatian pada kecemasanya tak sadar menetapkan pelaku dalam pengkondisisan instrumental (Harvard Medical School, 2004a).

 
Depresi pada Anak
Depresi pada masa kanak-kanak adalah gangguan suasana hati yang melebihi kenormalan, kesedihan sementara. Depresi diperkirakan terjadi sekitar 2 persen pada anak prasekolah dan meningkat sebanyak 2,8 persen pada anak di bawah usia 13 tahun (Costello, Erkanli & Angold, 2006; NCHS, 2004). Gejalanya termasuk ketidakmampuan untuk bersenang-senang atau berkonsentrasi, sakit pinggang, aktifitas yang ekstrim atau apatis, menangis, masalah tidur, perubahan berat badan, keluhan fisik, perasaan tidak berguna, merasa tidak memiliki teman, atau pikiran tentang kematian atau bunuh diri yang sering muncul. Depresi anak-anak adalah tanda dimulainya masalah-masalah yang berulang-ulang menettap pada masa dewasa nanti (Birmaher, 1998; Birmaher dkk., 1996; Ciccheti & Tot, 1998; Kye & Ryan, 1995, USDHHS, 1996b; Weisman, Warner, Wickramaratne, & Kandel, 1999).
Penyebab utama depresi belum diketahui, tapi anak yang depresi cenderung berasal dari keluarga dengan pla pengasuhan penuh tenakanan, kecemasan, kemampuan melecehkan, atau perilaku antisocial. Situasi dalam keluarga meningkatkan resiko depresi pada anak-anak (Cecchetti & Toth, 1998; USDHHS, 1999b).
Para peneliti menemukan beberapa gen khusus yang dihubungkan dengan depresi. Satu gen, 5-HTT, membantu mengotrol serotonin kimia otak dan hubunganya dengan suasana hati. Dalam sebuah studi longitudinal dari 847 individu yang lahir di tahun yang sama di Dunedin, Selandia Baru, yang memiliki dua versi pendek dari gen tersebut menjadi lebih mudah depresi daripada yang memiliki dua versi gen panjang (Caspi dkk., 2003). Bentuk pendek gen lain, SERT-s, yang juga mengontol serotonin, dihubungkan dengan besarnya pulvina, bagian otak yang berhubungan dengan emosi negative (Young dkk, 2007).
Anak yang berusia 5 atau 6 tahun secara akurat dilaporkan mengalami deprsi suasana hati dan perasaan yang memicu terjadinya permasalahan nantinya, dari masalah akademis hingga depresi utama dan bunuh diri (lalongo, Edelsohn, & kellam, 2001). Depresi sering kali muncul selama masa transisi pertengahan sekolah dan berhubungan dengan tekanan akademis yang kaku. (Cicchetti &Toth, 1998), rasa percaya diri yang lemah dan kurangnya investasi personal untuk keberhasilan akademis (Ruloph, Lambert, Clark & Kurlakowsky, 2001). Depresi menjadi berlebihan selama masa dewasa dan dibahas di bab selanjutnya.

 
Teknik Penanganan
Perawatan psikologi untuk gangguan emosi dapat menggunakan beberapa bentuk. Dalam psikoterapi individual, terapis melihat anak satu persatu, membantu anak mendapatkan pemahaman diri dalam kepribadianya dan dalam relasi serta menginterpretassikan persaan dan perilaku. Perawatan seperti ini dapat membantu melewati saat-saat stress, seperti kematian orang tua atau perceraian irag tua, bahkan ketika anak tidak menunjukan tanda-tanda terganggu. Psikoterapi anak biasanya lebih efektif ketika dikombinasikan dengan konseling orang tua.
Dalam Terapi Keluarga, terapis melihat keluarga secara bersama-sama,mengobservasi bagaimana anggota berinteraksi dan menunjukan pertumbuhan keduanya baik pertumbuhan yang menghasilkan atau pertumbuhan yang menghalangi atau merusak fungsi keluarga. Terapi dapat membantu orang tua menghadapi konflik mereka dan mulai memecahkanya. Hail ini sering kali merupakan langkah awal untuk memecahkan permasalahan anak-anak.
Terapi perilaku, atau modifikasi perilaku adalah bentuk psikoterapi yang menggunakan prinsip teori belajar untuk mengurangi perilaku yang tidak diinginkan atau mengembangkan perilaku yang diinginkan. Analisis statistic dari banyak studi menemukan bahwa psikoterapi umumnya efektif dilakukan pada masa anak-anak dan remaja, tetapi terapi perilaku lebih efektif daripada merode nonperilaku. Hasil terbaik ketika perawatan ditargetkan pada masalah-masalah spesifik dan hasil yang diinginkan (Weisz, Weiss, Han, Granger & Morton, 1995). Terapi perilaku kognitif, yang diarahkan untuk mebgubuah pikiran-pikaran negative melalui ekspos yang bertahap, permodelan, hadiah atau bicara dengan diri sendiri membuktikan keektifan perawatan untuk gangguan kecemasan pada anak-anak dan remaja (Harvard Medical School. 2004a).
Ketika anak memiliki keterbatasan dalam keterampilan verbal dan koseptual atau memiliki trauma emosi, terapi seni dapat membantu mereka menggambarkan apa yang mengganggu mereka tanpa perlu menjelaskan perasaan mereka dalam bentuk kata-kata. Anak-anak akan menunjukan emosi terdalamnya melaui warna pilihanya dan subjek untuk dilukiskan (Kozlowska & Hanney, 1999). Mengamati bagaimana rencana keluarga, yang dibawanya serta membahas proyek seni yang dapat membentuk interaksi-interaksi keluarga.
Terapi Bermain, yakni anak-anak bermain bebas ketika terapis berkomentar sesekali, mengajukan pertanyaan atau membuat saran, membuktikan sangat edektif untuk beragam masalah emosi, kognitif, dan social, terutama kerika mereka berkonsultasi dengan orang tua atau keluarga dekat lainya sebagai bagian dari proses ( Athansiou, 2001; Bratton & Ray ; Leblanc & Ritchie, 2001; Ryan & Needham, 2001; Wilson & Ryan, 2001).
Penggunaan obat sebagai terapi—obat-obat anti depresan, stimulant, tranquilizer, atau antipsikotik—untuk menyembuhkan gangguan emosi pada anak-anak merupakan hal yang controversial. Selama decade terakhir ini angka pengobatan antipsikotik diberikan pada anak-anak dan remaja leih dari lima kali lipat (Olfson, Blanco, Liu, Moreno & Laje, 2006). Contohnya dari tahun 1999 hingga 2001 diperkirakan 1 dari 650 anak yang menerima pengobatan anti psikotik, jumlahnya meningkat sebanyak 1 dari 329 anak di tahun 2007 (Olfson, Crytal, Huang & Gerard, 2010). Penelitian yang memadai mengenai efektifitas dan keselamatan penggunaan obat-obatan, terutama pada anak-anak, menunjuka kekurangan.
Penggunaan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) untuk mengobati gangguan obesif komplusif, depresi, dan kecemasan meningkat secara cepat di tahun 1990-an (Leslie dkk., 2005), tetapi sejak ada kekeliruan sebesar 20 persen (Daly, 2005). Beberapa studi menunjukan risiko yang moderat munculnya pikiran bunuh diri dan perilaku untuk anak-anak dan remaja kerika memakai antidepresan, yang lain menunjukan tidak adanya risiko penambahan yang signifikan (Hammad, Laughren, & Racoosin, 2006; Simon, Savarino, Operkalksi, & Wang, 2006). Atau mengurangi resikonya (Simon, 2006). Sebanyak 27 analisis acak, studi control placebo menemukan bahwa keuntungan penggunaan obat anti depresan pada anak-anak dan remaja melebihi resikonya (Bridge dkk., 2007). Penggunaan obat-obatan antidepresan untuk remaja selanjutnya akan dibahwas di Bab 11).

Sumber

Papalia, Diane E., Feldman, Ruth Duskin. 2014. Menyelami   Perkembangan Manusia. Jakarta : Salemba Humanika.